Selasa, 02 November 2010

Keajaiban keajaiban yang di alami si kandidat pengganti mbah marijan dan keluarganya sewaktu melawan keganasan gunung merapi

Lilik Muchlisi (23) tak pernah membayangkan mengalami peristiwa paling dramatik dalam hidupnya.

Warga Dusun Kaliadem, Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman, tersebut terjebak awan panas Gunung Merapi sekitar empat jam, Selasa (26/10/2010) lalu.

Ia tidak sendiri, tetapi bersama kedua orangtuanya, Haji Ponimin dan Ny Hj Hayati, Lia Hatifah (kakak kandung), Suryadi (kakak ipar), Ilham Galih Habibi (5) adik, dan Fiqih (2,5), putra Lia.

“Kami sekeluarga bertahan dalam kamar sekitar empat jam. Selama itu kami hanya bisa pasrah dan berdoa,” kata Lilik ketika ditemui Tribunnews.com di lokasi pengungsian keluarganya, Desa Umbulmartani, Kecamatan Ngemplak, Sleman, Kamis (28/10/2010) malam.

Di tengah kepasrahan, Lia Hatifah sempat menghubungi nomor telepon yang tersimpan di ponsel ayahnya.

Uniknya, di antara nomor telepon yang dihubungi, tertera nama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Selain itu, Lia juga menghubungi Bupati Sleman Sri Purnomo dan sejumlah orang lain.

“Semua orang yang ditelepon mengatakan belum mampu membantu proses evakuasi karena kondisi masih berbahaya,” katanya.

Lia mengaku tidak tahu apakah yang menerima teleponnya Presiden SBY atau bukan. “Di HP bapak saya memang ada nomor telepon orang yang diberi nama SBY. Saat itu saya minta tolong kepada penerima telepon agar dikirim helikopter, tapi dia bilang tidak mungkin kirim helikopter dalam situasi seperti itu,” ujar Lia.

Ponimin mengaku tidak kenal secara pribadi dengan Presiden SBY. “Saya hanya pernah didatangi seseorang yang mengaku sebagai utusan Pak SBY. Orang itu kemudian memberitahu nomor kontak Pak SBY,” ujar Ponimin.

Dalam kondisi terkurung awan panas, Ponimin sempat keluar dari kamar untuk mengambil air dan madu di dapur. “Pada saat itu Bapak terjilat api di bagian pantat,” kata Lilik.

Beberapa bagian rumah keluarga Ponimin rusak setelah genteng kaca pecah terkena awan panas.

“Dari genteng yang pecah itu pasir dan abu panas masuk ke dalam plafon. Akibatnya, sebagian plafon ambrol,” katanya.

Tentu saja kondisi itu membuat suhu dalam kamar menjadi semakin panas. “Suhu dalam kamar panas sekali. Bau belerang sangat menyengat. Kami kesulitan mendapat oksigen,” tambah Lilik.

Meski pada saat itu suhu diperkirakan sekitar 600 derajat celsius, tiga dus air mineral tidak menguap, begitu pula pakaian, dan tiga sepeda motor yang diparkir dalam rumah.

Keluarga Ponimin terjebak selama empat jam di dalam rumah saat wedhus gembel Gunung Merapi menyerang.

Kepada Tribunnews.com di lokasi pengungsian, tokoh spiritual Kaliadem sekaligus calon juru kunci Gunung Merapi pengganti almarhum Mbah Maridjan ini menceritakan kisahnya.

Suhu saat itu sudah sangat panas, beberapa bagian rumah keluarga Ponimin rusak setelah genteng kaca pecah terkena awan panas.

“Dari genteng yang pecah itu, pasir dan abu panas masuk ke dalam plafon. Akibatnya, sebagian plafon ambrol,” kata Lilik, anak Ponimin.

Meski pada saat itu suhu diperkirakan sekitar 600 derajat celsius, tiga dus air mineral tidak menguap, begitu pula pakaian, dan tiga sepeda motor yang diparkir dalam rumah.

Keanehan lain yang terjadi saat itu, kata Lilik, anak Ponimin melihat mendadak muncul kitab suci Al Quran di dalam kamar yang mereka pakai.

“Al Quran tersebut biasa tidak ada di kamar itu. Tiba-tiba saat itu ada di dekat kami. Kalau tak salah jumlahnya lima,” katanya meyakinkan.

Tak ingin terus-menerus berada dalam rumah, keluarga Ponimin mencoba meninggalkan tempat itu dengan menggunakan mobil Toyota Avanza silver yang terparkir di garasi.

Namun, baru berjalan beberapa meter dari halaman rumah, mobil tersebut tidak mampu bergerak lagi.

“Ban depan meleleh kena jalanan dipenuhi abu dan pasir panas. Tak lama kemudian, giliran ban belakang ikut meleleh dan meledak,” kenang Lilik.

Baru beberapa menit berada dalam mobil, keluarga Poniman tak tahan hawa panas yang menyergap. Tak ada jalan lain, mereka harus meninggalkan mobil dan kembali ke rumah.

Bagaimana caranya? Rupanya, ada saat ada akal. Bantal yang ada dalam mobil dipakai sebagai alas tumpuan kaki agar tidak kepanasan.

Kembali ke kamar semula, keluarga abdi dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat itu lagi-lagi disergap ketidakpastian. Mereka kemudian memutuskan untuk meninggalkan rumah dengan berjalan kaki.

Sebelumnya, ada seorang relawan, Pandu Nugraha, yang mencoba membantu keluarga Ponimin.

“Relawan itu datang ke rumah kami mengendarai sepeda motor trail. Ia membawa oksigen sesuai permintaan kami. Sepatu boot yang dikenakannya meleleh,” ujar Lilik.

Sepada motor ditinggalkan begitu saja di luar rumah sehingga dalam waktu singkat hancur terkena awan panas.

“Relawan tersebut dan seorang tetangga bernama Pak Tris bersama keluarga kami kemudian memutuskan keluar dari rumah dengan berjalan kaki, sekitar pukul 23.00 WIB, Selasa. Ibu terpaksa digendong relawan karena kakinya berdarah,” kata Lilik.

Untuk melawan abu dan pasir panas yang menutup jalan, Lilik mengambil sejumlah batalan kursi sofa sebagai alas.

Keluarga Ponimin, Pak Tris, dan relawan berjalan dengan menginjak bantalan sofa secara estafet sejauh sekitar 500 meter.

Selanjutnya mereka berjalan kaki tanpa alas bantal sekitar 1 km menuju kaki Gunung Merapi.

“Bapak hanya mampu jalan kaki sekitar 500 meter karena kakinya terbakar ketika berjalan di atas pasir panas. Beliau berhenti di sebuah tempat parkir,” kata Lilik.

Keluarga itu kemudian dapat dievakuasi menggunakan mobil jemputan dan dilarikan ke RS Panti Nugroho di Kecamatan Pakem, Sleman.

Selanjutnya Ponimin yang mengalami luka bakar di kaki dan pantat dirawat di klinik dr Ana Ratih Wardhani, di Kecamatan Ngemplak, Sleman.

0 komentar:

Posting Komentar

BERI KOMENTAR DAN KRITIKAN ANDA, SUPAYA BLOG INI MENJADI LEBIH BAIK.
KOMENTAR SPAM AKAN SAYA HAPUS.