Sabtu, 05 Juni 2010

mengapa jilbab di larang di perancis

postingan kali ini judulnya tentang mengapa jilbab di larang di perancis simak baik-baik artikel ini di kutip dari afatih.wordpress.com.

Kendati lebih dari 80 persen dari populasinya menyebut dirinya Katolik, dan Katolikisme merasuk dalam sejarah dan budayanya, Prancis dapat bertahan dari desakan ‘tirani mayoritas’yang hampir tidak mengemuka selama lebih dari 100 tahun. Dengan pengecualian di era rejim Vichy yang pro-Nazi selama Perang Dunia II, pemerintah yang berkuasa silih berganti mentaati penuh spirit hukum tahun 1905 yang membangun pagar pemisah tebal dan tak terpenetrasi antara negara dan gereja.

Di bawah undang-undang ini negara diharuskan untuk memelihara netralitasnya vis-à-vis seluruh komunitas agama. Tidak ada instruksi agama apapun yang dibolehkan dibicarakan di sekolah negeri, begitu juga tidak ada tanda atau simbol agama diijinkan dipasang di gedung pemerintah. Agama terbatas dalam ruang pribadi atau non-pemerintah. Hukum 1905 itu juga mengharuskan negara untuk melindungi kebebasan panggilan nurani seluruh warganya. Usaha apapun untuk melanggar kebebasan ini, melalui intimidasi, pemaksaan, propaganda, kekerasan atau pengabaran, akan terkena tindakan hukuman.

Dengan demikian, tidak ada satupun warga negara, atau sekelompok warga negara, yang dapat berperilaku melawan tradisi ‘republiken’ Prancis yang terwarisi dari para pemikir Pencerahan dan Revolusi 1789: demokrasi, mempertahankan HAM, menghormati kebebasan dasar, persamaan ras dan jender dan juga peluang. Segenap warga terkena hukum yang sama. Ini menjadi persyaratan pokok untuk mendapat kewarganegaraan Prancis.

Sepanjang abad ke-20 Katolik, Protestan dan Yahudi berhasil menginternalisasi spirit sekularisme dan identitas ini. Akan tetapi pertumbuhan populasi muslim yang cepat, yang diestimasi berkisar antara 3 sampai 5 juta, pada dekade terakhir telah menyebabkan debat panjang tentang apakah komunitas muslim dapat atau tidak berintegrasi ke dalam mainstream Republiken. Bagi banyak kalangan pemikir Prancis Islam secara intrinsik tidak selaras dengan demokrasi, HAM, wanita, kebebasan berekspresi dan bersikap bermusuhan pada non-Muslim dan pada kalangan pembangkang di kalangan muslim sendiri.

Kepercayaan mendalam muslim pada konsep ummah (baca, pan Islamisme) dan pada komunitas muslim yang tak terpisahkan, juga dianggap tidak cocok dengan ide modern Negara-Bangsa. Dengan semakin banyaknya kalangan Muslim muda berpendidikan yang menampakkan sikap simpatik pada ulama Islam radikal, terdapat banyak kekuatiran dan rasa was-was bahwa tradisi republiken Prancis tidak akan dapat lagi bertahan.

Namun demikian, terdapat juga kalangan pemikir Prancis yang berpendapat bahwa umat Islam dapat menyesuaikan diri dengan tradisi ini. Sebagai contoh, di Tunisia Islam bukanlah agama resmi negara. Semua warganya sejajar di mata hukum. Persamaan gender dijamin. Poligami dihapuskan. Sistem demokrasi semakin banyak dipakai di sejumlah negara Muslim. Sejumlah wanita Islam menjadi kepala negara di Indonesia, Bangladesh, Pakistan. Sementara itu, kalangan reformis Muslim juga semakin bersuara lantang. Kalangan reformis ini umumnya berpendapat bahwa memang Quran tidak dapat diganggu-gugat, tetapi syariah (fiqh) dan teks-teks teologis yang lain harus dilihat dari konteks historisnya. Hal ini harus dilakukan untuk memungkinkan umat Isalam dapat berjalan seiring dengan tuntutan humanis dunia modern.

Saat ini, kalangan reformis dalam posisi defensif. Bulan April lalu, untuk pertama kalinya pemilu diadakan untuk majlis umum dan komite pusat Dewan Prancis untuk Agama Islam (DPAI) di mana pemerintah telah menciptakan institusi yang sama untuk komunitas Katolik, Protestan dan Yahudi. Alasan pembentukan DPAI ini adalah bahwa sebuah badan perwakilan Muslim Prancis dapat dibujuk atau dipersuasi untuk bersikap selaras dengan etos republiken negara. Tampak bahwa harapan ini tak lebih dari wishful thinking belaka saat ini, karena ternyata hasilnya cukup mengagetkan dan tidak sesuai harapan pemerintah: pemilu itu dimenangkan oleh kalangan garis keras yang sebagian di antaranya berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin.

Tampaknya fenomena inilah antara lain yang memaksa presiden Chirac untuk mengambil langkah konstitusi pelarangan penggunaan jilbab yang mengundang banyak kontroversi itu.

* Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik di Agra University dan Research Associate di Zakir Hussein Institute of Islamic Studies New Delhi, India.

0 komentar:

Posting Komentar

BERI KOMENTAR DAN KRITIKAN ANDA, SUPAYA BLOG INI MENJADI LEBIH BAIK.
KOMENTAR SPAM AKAN SAYA HAPUS.